A. TEORI RESPON SISWA
1. Pengertian
Respons dikatakan Darly Beum sebagai
tingkah laku balas atau sikap yang
menjadi tingkah laku adekuat. Sementara itu Scheerer menyebutkan
respons merupakan
proses pengorganisasian rangsang dimana rangsang-rangsang prosikmal
di organisasikan. Sedemikian rupa sehingga sering terjadi representasi
fenomenal dari rangsang prosikmal (Sarwono, 1998: 84).
Respon pada prosesnya didahului sikap
seseorang, karena sikap merupakan
kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku kalau ia menghadapi suatu rangsangan tertentu. Jadi berbicara mengenai
respon atau tidak
respon tidak terlepas dari pembahasan sikap. Respon juga diartikan suatu tingkah
laku atau sikap yang berwujud baik sebelum pemahaman yang mendetail,
penilaian,
pengaruh atau penolakan, suka atau tidak serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu.
Melihat sikap seseorang atau sekelompok
orang tehadap sesuatu maka
akan diketahui bagaimana respon mereka terhadap kondisi tersebut.Menurut Louis Thursone,
respon merupakan jumlah kecenderungan dan perasaan, kecurigaan, dan prasangaka, pra pemahaman yang mendetail, ide-ide,
rasa takut,
ancaman dan keyakinan tentang suatu hal yang khusus. Dari
pengertian tersebut dapat diketahui bahwa cara pengungkapan sikap dapat
melalui:
1. Pengaruh atau penolakan
2. Penilaian
3. Suka atau tidak suka
4. Kepositifan atau kenegatifan suatu objek psikologi
Perubahan sikap dapat menggambarkan
bagaimana respon seseorang atau sekelompok
orang terhadap objek-objek tertentu seperti perubahan lingkungan atau situasi lain. Sikap yang muncul dapat positif yakni cenderung
menyenangi, mendekati
dan mengharapkan suatu objek, seseorang disebut mempunyai respon positif dilihat dari tahap kognisi, afeksi, dan psikomotorik.
Sebaliknya seseorang mempunyai respon negatif apabila informasi yang
didengarkan atau perubahan suatu objek tidak mempengaruhi tindakan atau malah
menghindar dan membenci objek tertentu. Terdapat dua jenis variable yang
mempengaruhi respon :
1. Variable struktural yakni faktor-faktor yang terkandung dalam
rangsangan fisik
2. Variable fungsional yakni faktor-faktor yang terdapat dalam diri
si pengamat, misalanya kebutuhan suasana hati, penglaman masa lalu (Cruthefield,
dalam Sarwono, 1991: 47)
Menurut Hunt (1962) orang dewasa
mempunyai sejumlah unit untuk memproses informasi-informasi. Unit-unit ini
dibuat khusus untumenangani representasi fenomenal dari keadaaan diluar
individu. Lingkungan internal ini dapat digunakan untuk memperkirakan
peristiwa-peristiwa yang terjadi diluar.Proses yang berlangsung secara rutin
inilah yang disebut Hunt sebagai suatu respon (Adi, 1994: 129). Teori rangsang
balas (stimulus respon theory) yang sering juga disebut sebagi teori
penguat dapat digunakan untuk menerangkan berbagai gejala tingkah laku sosial
dan sikap. Yang artinya disini adalah kecenderungan atau kesediaan seseorang
untuk bertingkah laku tertentu kalau ia mengalami rangsang tertentu. Sikap ini
terjadi biasanya terhadap benda, orang, kelompok, nilai-nilai dan semua hal
yang terdapat di sekitar manusia.
Tingkah laku
adalah hubungan antara perangsang dan respon. Tingkah laku terjadi apabila ada
stimulus khusus. Skinner berpendapat, pribadi seseorang terbentuk dari akibat
respon terhadap lingkungannya, untuk itu hal yang paling penting untuk
membentuk sebuah kepribadian adalah adanya penghargaan dan hukuman. Penghargaan
akan diberikan untuk respon yang diharapkan sedangkan hukuman untuk respon yang
salah. Pendapat skinner ini memusatkan hubungan antara tingkah laku dan
konsekuen. Contoh, jika tingkah laku individu segera diikuti oleh tingkah laku
menyenangkan, individu akan menggunakan tingkah laku itu lagi sesering mungkin.
Konsekuen
menyenangkan akan memperkuat tingkah laku, sementara konsekuen yang tidak
menyenangkan akan memperlemah tingkah laku. Jadi, konsekuen yang menyenangkan
akan bertambah frekuensinya, sementara konsekuensi yang tidak menyenangkan akan
berkutrang frekuensinya. Skinner membedakan adanya dua macam respon, yaitu:
1.
Respondent response (reflexive response),
yaitu respom yang ditimbulkan oleh suatu perangsang-perangsang tertentu.
Misalnya, keluar air liur saat melihat makanan tertentu. Perangsang-perangsang
yang demikian itu disebut eliciting stimuli, menimbulkan
respon-respon yang relatif tetap. Pada umumnya, perangsang-perangsang yang
demikian mendahului respon yang ditimbulkannya.
2.
Operant response (instrumental response),
yaitu respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang-peerangsang
tertentu. Perangsang yang demikian itu disebutreinforcing stimuli atau reinforcer, karena
perangsang itu memperkuat respon yang telah dilakukan oleh organisme. Jadi,
perangsang yang demikian itu mengikuti (dan karenanya memperkuat) sesuatu
tingkah laku tertentu yang telah dilakukan. Jika seorang anak belajar (telah
melakukan perbuatan), lalu mendapat hadiah, maka ia akan menjadi lebih
giatbelajar (intensif/ kuat).
Pada
kenyataannya, respon jenis pertama (respondent/reflexive response/behavior)
sangat terbatas adanya pada manusia. Sebaliknya operant response/behavior
merupakan bagian terbesar dari tingkah laku manusia dan kemungkinan untuk
memodifikasinya hampir tak terbatas. Oleh karena itu, fokus teori Skinner
adalah pada respons atau jenis tingkah laku yang kedua ini. Persoalannya adalah
bagaimana menimbulkan, mengembangkan dan memodifikasi tingkah laku-tingkah laku
tersebut (dalam belajar atau dalam pendidikan).
2.
Pola-pola respon
Apabila
reinforcement didasarkan pada prinsip interval tetap, dapat diduga pola respon
yang bakal muncul. Tetapi dengan menggunakan prinsip interval bervariasi, pola
respon yang muncul akan berbeda. Penggunaan
reinforcement secara beragam dapat juga mempengaruhi cepat lambatnya murid
melakukan tugas-tugas belajar. Kalau reinforcement iu didasarkan atas banyaknya
respon yang diberikan seseorang, murid akan lebih cermat mengendalikan waktu
yang digunakan untuk reinforcement. Semakin cepat murid mengumpulkan respon
yang benar, semakin cepat pula reinforcement diperolehnya.
Aspek lain
yang dikenakannya reinforcement adalah kegigihan berusaha. Kalau reinforcement
sama sekali tidak diberikan, orang akan kendur semangat dan akhirnya tidak
merespon sama sekali atau tingkah laku itu akan menghilang. Apabila
reinforcement diberikan setiap kali, seseorang akan cepat berhenti merespon
manakala reinforcement itu berhenti, demikian pula kalau yang diberikan pola
reinforcement tetap. Agar murid terus tetap aktif, yang palingtepat adalah
menggunakan pola reinforcement bervariasi ( sumadi , 2004 )
3. Teori Behavioritik ( Teori Stimulus-Respon)
Teori belajar behavioristik tentang belajar pada hakikatnya adalah
pembentukan asosiasi antara kesan yang di tangkap panca indra dengan
kecendrungan untuk bertindak atau berhubungan antara stimulus respon ( S –
R)”. oleh karena itu teori ini juga dinamakan teori stimulus respon.
Belajar adalah upaya untuk mebentuk hubungan stimulus respon
sebanyak-banyaknya.
Teori ini adalah
merupakan sebuah teori yang dicetuskan oleh Gagne dan Berliner, tentang perubahan tingkah
laku sebagai hasil dari pengalaman pertama. Pengalaman adalah hasil sentuhan
alam dengan panca indra manusia. Berasal dari kata Peng-alam-an. Pengalaman
memungkinkan seseorang menjadi tahu dan hasil tahu itu disebut pengetahuan.
Dalam dunia kerja istilah pengalaman juga digunakan untuk merujuk pada
pengetahuan dan ketrampilan tentang sesuatu yang diperoleh melalui keterlibatan
dengannya selama periode tertentu.
Pengetahuan yang berdasarkan pengalaman juga diketahui sebagai pengetahuan
Emperikal atau pengetahuan Posterior. Seorang dengan cukup banyak pengalaman
disuatu bidang tertentu disebut Ahli.Teori ini lalu berkembang menjadi aliran
Psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik
pendidikan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran Behavioristik.
Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil
belajar. Teori behavioritik dengan model hubungan stimulus dan responnya,
memposisikan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau
perilaku tertentu juga metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya
perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila
dikenai hukuman. Belajar merupakan akibat dari adanya interaksi antara stimulus
dan respon (slavin, 2000:143).
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukan
perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang terpenting adalah
input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa
saja yang diberikan oleh guru kepada peserta didik, sedangkan respon adalah
berupa reaksi atau tanggapan peserta didik terhadap stimulus yang diberikan
oleh guru tersebut.
Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk
diperhatikan karena dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati
adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru
(Stimulater) dan apa yang diterima oleh peserta didik (Responer) harus dapat
diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan
tingkah laku tersebut. Faktor lain dari aliran behavioristik adalah faktor
penguatan (Reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (Positive Reinforcement)
maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi atau
dihilangkan (Negetive Reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
4.
Tokoh – tokoh aliran behavioristik :
a.
Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses
interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang
terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang
dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang
dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan,
atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar
dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang
tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan
pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku
yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori
koneksionisme, koneksi disebut sebagai koneksi saraf yang disebut sambungan
saraf antara stimuli (S) dan respon (R). Agar tercapai hubungan antara stimulus
dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat
sertamelalui percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error)
terlebih dahulu (Slavin, 2000).
Hukum Efek Thorndike
Pada saat yang hampir sama dengan dilakukannya sebuah eksperimen
pengkondisian klasik anjing oleh Ivan Pavlov, E.L. Thorndike(1906) sedang
mempelajari kucing dalam kotak. Thorndike menempatkan kucing yang lapar dalam
sebuah kotak dan meletakkan ikan diluar kotak. Untuk bisa keluar dari kotak,
kucing itu harus mengetahui cara membuka palang di dalam kotak tersebut.
Pertama-tama kucing itu melakukan beberapa respons yang tidak efektif. Dia
mencakar atau menggigit palang. Akhirnya, kucing itu secara tidak sengaja
menginjak pijakan yang membuka palang pintu. Saat kucing dikembalikan ke kotak,
dia melakukan aktivitas acak sampai dia menginjak pijakan itu sekali lagi. Pada
percobaan berikutnya, kucing itu semakin sedikit melakukan gerakan acak, sampai
dia akhirnya bisa langsung menginjak pijakan itu untuk membuka pintu.
Hukum efek (law effect) Thorndike menyatakan bahwa
perilaku yang di ikuti dengan hasil positif akan diperkuat dan bahwa perilaku
yang diikuti hasil negatif akan diperlemah. Pertanyaan utama untuk Thorndike
adalah bagaimana respons stimulus yang benar (S-R) ini menguat dan akhirnya
mengalahkan respons stimulus yang tidak benar. Menurut Thorndike, asosiasi S-R
yang tepat akan diperkuat, dan asosiasi yang tidak tepat akan melemah, karena
konsekuensi dari tindakan organisme. Pandangan Thorndike disebut teori S-R
karena perilaku organisme itu dilakukan sebagai akibat dari hubungan antara
stimulus dan respons. Seperti yang akan kita lihat selanjutnya, pendekatan
Skinner memperluas ide dasar Thorndike ini.
b.
Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai
proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang
dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi
walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang
selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang
tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang
behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu
lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman
empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
c.
Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel
hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun
dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti
halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk
menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan
kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive
reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh
kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir
selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul
mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam
teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
d.
Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. yaitu gabungan
stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali
cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie
juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan
terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang
dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat
terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak
hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara
stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar
peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan
respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment)
memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat
yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus
respon secara tepat. Siswa harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari.
Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan
oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
e.
Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli
konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara
sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus
dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian
menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh
tokoh-tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak
sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling
berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang
dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku
(Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara
benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuaensi yang mungkin
timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengmukakan bahwa dengan
menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah
laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan
perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
5.
Analisis Tentang Teori Behavioristik
Para pendidik masa kini yang masih menggunakan kerangka behavioristik,
biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan kedalam bagian
– bagian terkecil yang diberi tanda dengan ketrampilan tertentu. Kemudian,
bagian – bagian tersebut disusun secara hirarki dari yang sederhana sampai yang
kompleks (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik.
Akan tetapi, dari semua teori yang ada, hanya teori dari Skinner sajalah yang
paling banyak pengaruhnya terhadap perkambangan teori belajar behavioristik.
Program – program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran Program,
Modul, dan program pembelajaran lainnya yang berpijak pada konsep hubungan
stimulus dan respon. Serta mementingkan faktor – faktor penguat
(Reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar
yang dikemukakan oleh Skinner.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang teori dan konsep dalam uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan usaha untuk menyesuaikan diri
terhadap kondisi dan situasi disekitar kita. Adalam proses ini termasuk
mendapatkan pengertian dan sikap yang baru. Dengan demikian, terjadi perubahan
perilaku yang sebelumnya tidak mengerti menjadi mengerti terhadap suatu hal.
Jadi, secara sadar bahwa dalam proses belajar ini yang diutamakan adalah
bagaimana individu dapat menyelesaikan dan terhadap rangsangan kehidupan
kemudian individu ini mengadakan reaksi. Reaksi yang dilakukan merupakan usaha
untuk menciptakan kegiatan sekaligus menyelesaikan dan akhirnya mendapatkan
hasil yang mengakibatkan perubahan pada dirinya. Sebagai hal baru serta
menambah pengetahuan. Belajar bertujuan untuk mengubah sikap positif artinya
apabila seseorang belajar sesuatu hal yang baru tergantung stimulus
disekitarnya (faktor lingkungan yang kondusif memberikan kenyamanan dalam
proses belajar) termasuk keaktifan proses mental yang sering dilatih dan
akhirnya menjadi suatu kegiatan yang terbiasa.
6.
Teori Stimulus – Respon (Teori S – R)
Dalam teori belajar behavioristik menjelaskan belajar adalah perubahan
perilaku yang diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi
melalui rangsangan (stimulus) yang menimbulkan hubungan perilaku relatif
(respons) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulus tidak lain adalah
lingkungan belajar anak baik yang internal maupun eksternal yang menjadi
penyebab belajar. Sedangkan respon adalah akibat atau dampak berupa reaksi
fisik terhadap stimulus. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat,
kecenderungan perilaku S – R (Stimulus – Respon).
Melihat faktor-faktor lingkungan stimulus dan hasil tingkah laku yang ada
hubungannya antara respon, tingkah laku dan pengaruh lingkungan. Dengan
memberikan stimulus maka siswa akan merespon. Hubungan antara stimulus dan respon
ini akan menimbulkan kebiasaan-kebiasaan otomatis pada belajar. Jadi pada
dasaranya kelakuan anak adalah terdiri atas respon-respon tersebut dengan
latihan-latihan maka hubungan tersebut semakin kuat. Inilah yang disebut S – R
Bond Theory. Kelakuan tadi akan ditransfer kedalam situasi baru menurut hukum
transfer tertentu pula.(Oemar Hamalik, 2005 : 39).
Hal yang sama seperti diungkapkan oleh wina sanjaya (2006 : 112)
bahwa “Teori belajar behavioristik
tentang belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang
di tangkap panca indra dengan kecendrungan untuk bertindak atau berhubungan
antara stimulus respon ( S – R)”. oleh karena itu teori ini juga
dinamakan teori stimulus respon. Belajar adalah upaya untuk mebentuk hubungan
stimulus respon sebanyak-banyaknya.
7.
Teori-teori Belajar yang Termasuk dalam Kelompok Teori Stimulus – Respon
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan Stimulus
–Respon ini, diantaranya :
a. Connectionism
( S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya:
·
Law of
Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan,
maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak
memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang
terjadi antara Stimulus- Respons.
·
Law of
Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme
itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana
unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu.
·
Law of
Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin
bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang
atau tidak dilatih.
b. Classical
Conditioning menurut Ivan Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya :
·
Law of
Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua
macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai
reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
·
Law of
Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks
yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan
kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
c. Operant
Conditioning menurut B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap
burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
·
Law of
operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
·
Law of
operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat
melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan
perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2000) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap
lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh
stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh
reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang
meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak
sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical
conditioning.
d. Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah
sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori
belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura
memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus
(S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi
antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar
belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam
belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian
contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang
pentingnya conditioning. Melalui
pemberian reward danpunishment, seorang individu akan berfikir
dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang teori dan konsep dalam uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan usaha untuk menyesuaikan diri
terhadap kondisi dan situasi disekitar kita. Adalam proses ini termasuk
mendapatkan pengertian dan sikap yang baru. Dengan demikian, terjadi perubahan
perilaku yang sebelumnya tidak mengerti menjadi mengerti terhadap suatu hal.
Jadi, secara sadar bahwa dalam proses belajar ini yang diutamakan adalah
bagaimana individu dapat menyelesaikan dan terhadap rangsangan kehidupan kemudian
individu ini mengadakan reaksi. Reaksi yang dilakukan merupakan usaha untuk
menciptakan kegiatan sekaligus menyelesaikan dan akhirnya mendapatkan hasil
yang mengakibatkan perubahan pada dirinya. Sebagai hal baru serta menambah
pengetahuan. Belajar bertujuan untuk mengubah sikap positif artinya apabila
seseorang belajar sesuatu hal yang baru tergantung stimulus disekitarnya
(faktor lingkungan yang kondusif memberikan kenyamanan dalam proses belajar)
termasuk keaktifan proses mental yang sering dilatih dan akhirnya menjadi suatu
kegiatan yang terbiasa.
8.
Teori Stimulus – Respon Piaget
Jean Piaget menyebutkan bahwa struktur kognitif sebagai Skemate (Schmas),
yaitu kumpulan dari skema-skema. Seorang individu dapat mengikat, memahami dan
memberikan respon terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini.
Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara
individu dengan lingkungannya. Dengan demikian seorang individu yang lebih
dewasa memiliki struktu kognitif yang lebih lengkap dari pada ketika ia masih
kecil. Seorang anak yang baru pertama kali melihat buaya akan menyebutnya
sebagai cecak besar, karena cecaklah yang selalu dilihatnya di rumah dan
cecaklah yang paling dekat dengan stimulusnya.
Perkembangan skemata ini berlangsung terus-menerus melalui adaptasi dengan
lingkungannya. Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalm
pikiran anak. Makin baik kualitas skema ini, makin baik pulalah pola penalaran
anak tersebut. Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk
dengan stimulus baru dilakukan dengan dua cara,
yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses
pengintegrasian secara langsung stimulus baru kedalam skema yang telah
terbentuk. Sedangkan akomodasi adalah proses pengintegrasian stimulus baru ke
dalam skema yang telah terbentuk secara tidak langsung.
Dalam struktur kognitif setiap individu mesti ada keseimbangan antara
asimilasi dengan akomodasi, agar dapat mendeteksi persamaan dan perbedaan yang
terdapat pada stimulus-stimulus yang dihadapi.
Berdasarkan hasil penelitiannya, piaget mengemukakn bahwa ada empat tahap
perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis
(menurut usia kalender) yaitu :
Ø Tahap Sensori Motor, dari lahir sampai umur sekitar 2 tahun
Ø Tahap Pra Operasi, dari sekitar umur 2 tahun sampai dngan sekitar umur 7
tahun
Ø Tahap Operasi Konkrit, dari sekitar uamur 7 tahun asampai dengan umur 11
tahun
Ø Tahap Operasi Formal, dari sekitar umur 11 tahun dan seterusnya
Maka pada makalah ini penulis memakai tahap Operasi Formal karena masa SMA
anak sudah berumur lebih dari 11 tahun. Tahap Operasi Formal (Formal Operation
Stage) merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitas. Anak
pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang
abstrak. Penggunaan benda-benda konkret sudah tidak diperlukan lagi. Anak mampu
bernalar tanpa harus berhadapan dengan objek atau peristiwa langsung. Penalaran
yang terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya menggunakan simbol-simbol,
ide-ide, abstraksi dan generalisasi. Ia telah memiliki kemampuan-kemampuan
untuk melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan di antara
hubungan-hubungan, memahami konsep promosi. Sebagai contoh, kita perhatikan
eksperimen Piaget berikut ini :
Seorang anak pada tahap ini dihadapkan pada gambar “Pak Pendek” dan untaian
penjepit kertas untuk mengukur tinggi “Pak Pendek” itu. Klemudiana ditambahkan
penjelasan dalam bentuk verbal bahwa “Pak Pendek” mempunyai teman “Pak Tinggi”.
Kemudian dikatakan apabila diukur dengan abatang korek api tinggi “Pak Pendek”
empat batang, sedangkan tinggi “Apak Tinggi” enam batang korek api. Berapakah
tinggi “Pak Tinggi” bila diukur dengan klip? Dalam
Anak pada operasi formal tidak lagi berhubungan dengan ada-tidaknya benda-benda
konkrit, tetapi berhubungan dengan tipe berfikir. Apakah stimulus disertai oleh
benda-benda konkret atau tidak, bagi anak pada tahap berfikir formal tidak
menjadi masalah.
B. DEFINISI KONSEPTUAL, OPERASIONAL DAN KISI-KISI
1.
Definisi
Konseptual
Respon siswa adalah tanggapan yang diberikan atau yang
diperlihatkan oleh siswa dalam interaksi belajar mengajar matematika yang
sifatnya edukatif. Respon tersebut ditunjukkan oleh siswa dalam interaksi
belajar mengajar melalui sikap ilmiha sebagai bentuk perilaku terbuka dan
bentuk perilaku tertutup.
2.
Definisi
operasional
Respon
siswa adalah tanggapan yang diberikan atau yang diperlihatkan oleh siswa dalam
interaksi belajar mengajar matematika dan sifatnya edukatif. Respon tersebut
ditunjukkan oleh siswa dalam interaksi belajar mengajar melalui sikap ilmiah
sebagai bentuk perilaku terbuka dan bentuk perilaku tertutup yang diukur
melalui beberapa indicator. Untuk perilaku terbuka terdiri atas indicator (i)
sikap ingin tahu, (ii) sikap tekun, (iii) sikap kritis, (iv) sikap menghargai,
(v) sikap tebuka, (vi) sikap ingin menemukan. Sedangkan untuk indicator
perilaku tertutup terdiri atas : (i) penyajian materi oleh guru, (ii) materi
pembelajaran,(iii) aktivitas siswa, (iv) sikap guru.
3.
Kisi
– Kisi Angket Respon Siswa
No
|
Variabel
|
Perilaku
|
Indikator
|
Nomor Item
|
Jumlah
|
|
Pernyataan Positif
|
Pernyataan Negatif
|
|||||
1
|
Respon Siswa
|
Terbuka
|
Sikap ingin tahu
|
1, 3
|
2
|
3
|
Sikap tekun
|
6
|
5, 7
|
3
|
|||
Sikap kritis
|
8
|
4
|
2
|
|||
Sikap menghargai
|
9
|
10
|
2
|
|||
Sikap terbuka
|
11
|
12
|
2
|
|||
Sikap ingin menemukan
|
14
|
13
|
2
|
|||
2
|
Tertutup
|
Penyajian materi oleh
guru
|
15,16
|
17
|
3
|
|
Materi pembelajaran
|
18
|
19
|
2
|
|||
Aktivitas siswa
|
20
|
21
|
2
|
|||
Sikap guru
|
22, 24
|
23,25
|
4
|
|||
Jumlah
|
13
|
12
|
25
|
C. INSTRUMEN
RESPON SISWA
Soal :
1.
Saya
selalu berusaha untuk mengatasi kesulitan belajar matematika agar saya tidak
tertinggal
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
2.
Saya
bercerita dengan teman bila guru sedang menjelaskan materi matematika.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
3.
Saya
rajin bertanya kepada orang-orang terdekat saya mengenai materi matematika.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
4.
Saya
diam saja ketika guru matematika menjelaskan konsep.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
5.
Saya
belajar matematika dirumah sambil nonton TV.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
6.
Saya
membuat catatan khusus materi pelajaran matematika yang telah dipelajari agar
lebih muda diingat kembali.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
7.
Saya
selalu mengerjakan soal matematika dengan terburu-buru.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
8.
Saya
selalu belajar sendiri dikelas jika guru matematika tidak masuk mengajar.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
9.
Saya
memberikan kesempatan kepada teman untuk menjawab soal matematika yang
diberikan oleh guru.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
10. Dalam belajar matematika secara berkelompok, jika
tidak sependapat maka saya menolak hasilnya.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
11. Saya senang mengerjakan soal latihan matematika
bersama teman-teman daripada sendirian.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
12. Saya berpura-pura tidak tahu jika ada teman yang
bertanya tentang soal matematika.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
13. Saya tidak mencari cara lain untuk mengerjakan contoh
soal yang diberikan oleh guru.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
14. Saya tidak langsung memberikan jawaban pasti kepada
teman yang bertanya tentang soal matematika melainkan lebih dulu menunjukkan
langkah-langkah pengerjaannya.
a. Sangat sering
b. Sering
c.
Jarang
d. Sangat jarang
e. Tidak pernah
15. Guru matematika memberikan remedial bagi siswa yang belum
mencapai standar kelulusan.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
16. Selesai menjelaskan materi, guru memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menyalin materi matematika yang ada didpapan tulis.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
17. Guru matematika menulis dipapan tidak jelas dan tidak
mudah dibaca oleh siswa.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
18. Saya mencatat soal matematika yang saya anggap
penting.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
19. Materi matematika yang sering disajikan tidak sesuai
dengan tujuan pembelajaran matematika yang disebutkan diawal pembelajaran.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
20. Saya meminta bimbingan guru jika menemukan kesulitan
mengenai materi matmatika.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
21. Saya meninggalkan kelas saat pembelajaran matematika
berlangsung.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
22. Guru matematika memberikan pujian pada siswa yang
berhasil menjawab soal dengan baik.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
23. Guru matematika mengabaikan tanggapan siswa dalam
proses pembelajaran.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
24. Guru memberikan evaluasi pada setiap akhir
pembelajaran matematika.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
25. Guru matematika tidak memperhatikan keluhan-keluhan
siswa selama proses pembelajaran.
a.
Sangat
sering
b.
Sering
c.
Jarang
d.
Sangat
jarang
e.
Tidak
pernah
D.
UJI
VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMEN NON TES
a.
Uji
Validitas
Uji validitas adalah
suatu ukuran yang menunjukkan kesahihan atau tingkat kevalidan suatu
instrumen,ini mutlak dilakukan oleh peneliti untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Untuk tes uraian, validitas butir tesnya dihitung dengan
menggunakan rumus korelasi product moment dengan angka kasar
sebagai berikut:
|
(Arikunto, 2005:72).
|
Keterangan:
rxy = koefisien korelasi antara variabel X dan Y
X =
skor item
Y =
skor total
N =
jumlah subjek.
Adapun kriteria
pengujian sebagai berikut:
a. Jika
≥ dengan α = 0,05
maka item tersebut valid
b. Jika
< dengan α = 0,05
maka item tersebut tidak valid.
b.
Uji
Reliabilitas
Reliabilitas
menunjuk pada satu pengertian bahwa sesuatu instrumen cukup dapat dipercaya
untuk digunakan sebagai alat pengumpul data. Suatu tes dikatakan reliable jika hasil pengukuran
yang dilakukan dengan menggunakan tes tersebut berulang kali terhadap subyek
yang sama, senantiasa menunjukkan hasil yang tetap sama atau sifatnya ajeg
(stabil) atau mantap (konsisten). Untuk perhitungan
reliabilitas dalam penelitian ini digunakan rumus Alpha Cronbach sebagai berikut:
(Arikunto,
2005:109)
Keterangan:
r11 = reliabilitas, k
= Jumlah butir soal yang valid
∑σi2 = jumlah varians skor tiap butir soal, σt2 = varians total
Untuk menginterpretasikan tingkat reliabilitas tes,
digunakan interpretasi derajar keterandalan insrumen yang dibuat oleh Arikunto, sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4. Interpretasi Nilai Koefisien Reliabilitas
Koefisien Korelasi
|
Interpretasi
|
|
< 0,20
|
Reliabilitas tes sangat rendah
|
|
0,20 < ≤ 0,40
|
Reliabilitas tes rendah
|
|
0,40 < ≤ 0,60
|
Reliabilitas tes sedang/cukup
|
|
0,60 < ≤ 0,90
|
Reliabilitas tes tinggi
|
|
0,90 < ≤ 1,00
|
Reliabilitas tes sangat tinggi
|
(Arikunto,
2002:75)
E. HASIL ANALISIS DATA UJI COBA
INSTRUMEN
1. Validitas
Uji coba instrumen non-tes dilakukan pada siswa kelas VIII SMPN 15 Kendari yakni kelas VIII1
dan VIII3. Berikut ini adalah
hasil analisis validitas non-tes
respon siswa dalam proses belajar mengajar :
Tabel .1 Hasil
Analisis Validitas Instrumen Respon Siswa
No. Pernyataan
|
Koefisien
Korelasi (rxy)
|
Keterangan
|
1
|
0.234810324
|
Valid
|
2
|
-0.0364
|
Invalid
|
3
|
0.33908
|
Valid
|
4
|
3.04344
|
Valid
|
5
|
3.16855
|
Valid
|
6
|
3.1416
|
Valid
|
7
|
3.10352
|
Valid
|
8
|
3.19203
|
Valid
|
9
|
2.85911
|
Valid
|
10
|
2.94335
|
Valid
|
11
|
2.8951
|
Valid
|
12
|
3.20773
|
Valid
|
13
|
3.01312
|
Valid
|
14
|
3.14107
|
Valid
|
15
|
2.92226
|
Valid
|
16
|
3.005
|
Valid
|
17
|
3.179153
|
Valid
|
18
|
3.1564
|
Valid
|
19
|
2.93292
|
Valid
|
20
|
2.949115
|
Valid
|
21
|
2.96845
|
Valid
|
22
|
2.99567
|
Valid
|
23
|
2.80927
|
Valid
|
24
|
3.01237
|
Valid
|
25
|
3.19043
|
Valid
|
Sumber: Data Primer Diolah Dengan MS. Excel 2007
Berdasarkan hasil analisis
validitas uji coba instrumen dengan menggunakan bantuan aplikasi Microsoft Office excel 2007 diperoleh bahwa dari 25 butir soal pada uji coba instrumen non-tes respon siswa, diperoleh 24 butir soal dengan kategori valid yaitu butir
soal nomor 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,
10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24 dan 25
sedangkan butir soal nomor 2 tidak
valid. Hal ini berarti bahwa butir soal nomor 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16,
17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24 dan 25 dapat digunakan untuk
mengukur respon siswa dalam
proses belajar mengajar.
2.
Reliabilitas
Setelah dilakukan analisis reliabilitas dengan menggunakan rumus Alpha
Cronbach
terhadap butir soal yang valid diperoleh r11 = 0,99285, berarti soal-soal terpilih tersebut memiliki taraf kepercayaan sangat tinggi. Dengan
demikian instrumen tersebut dinyatakan reliabel untuk digunakan sebagai alat
ukur dan memenuhi syarat untuk menjadi alat pengumpul data yang baik dan dapat dipercaya.
F. KESIMPULAN
Instrumen uji coba non-tes respon siswa dalam proses
belajar mengajar yang terdiri dari 25 butir soal, diperoleh bahwa 24 butir
soal dengan kategori valid yaitu butir soal nomor 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16,
17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24 dan 25 sedangkan butir soal nomor 2 tidak valid. Hal ini berarti bahwa butir soal
nomor 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8,
9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24 dan 25 dapat digunakan
untuk mengukur respon siswa dalam
proses belajar mengajar.
Setelah dilakukan analisis reliabilitas dengan menggunakan rumus Alpha
Cronbach
terhadap butir soal yang valid diperoleh r11 = 0,99285, berarti soal-soal terpilih tersebut memiliki taraf kepercayaan sangat tinggi. Dengan
demikian instrumen tersebut dinyatakan reliabel untuk digunakan sebagai alat
ukur dan memenuhi syarat untuk menjadi alat pengumpul data yang baik dan dapat dipercaya.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Isbandi Rukminto, 1994. Psikologi, Pekerjaan
Sosial dan Ilmu Kesejahteraan: Dasar- Dasar Pemikiran, Jakarta : Raja Grafindo
Persada
Arends,
Richard L. 2008. Learning To Teach buku satu. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Arikunto, Suharsimi., 2002. Dasar-Dasar
Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi., 2005. Dasar-Dasar
Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Bell.gredler e.
margareth. 1991. Belajar dan membelajarkan. Jakrta cv.rajawali.
Djali dan Puji Muljono. 2004. Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan. Jakarta:
Program Pascasarjana Universitas Nageri Jakarta
Fachri, Kamal.2009.Teori
Behavioristik dan Permasalahan. http://www.kamalfachri.wordpress.com. Diakses tanggal 10 Maret 2015.
Hamalik, Oemar. 2005. Proses belajar mengajar. Jakarta : Bumi Aksara
Paull suparno. 1997. Filsafat kontruktivisme dalam pendidikan.
Yogyakarta : kanisius.
Sarlito Wirawan Sarwono.
1988. Peranan psikologi sosial dalam organisasi. Jakarta
: Universitas Terbuka, Dep.Dik.Bud.
Sarlito Wirawan Sarwono.
1991. Psikologi Remaja. Jakarta :
Rajawali Press.
Slameto. 2010. Belajar dan factor- factor yang
mempengaruhinya. Jakarta : Rineka Cipta. Diakses tanggal 10 Maret 2015.
Slavin r e . 2000. Educational psychology , theory and
practice. Allyn dan bacon united state of America
Suryabrata,
Sumadi. 2004. Psikologi
Pendidikan. Jakarta : Raja
Grafindo Persada
Syah, Muhibbin. 2000.
Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung
: PT
Rosdakarya.
Tadu,Salma.2011.http://sigma09.blogspot.com/2011/11/penerapan-pembelajaran-dengan-teori.html. Diakses tanggal 17 Maret 2015.
Tati,
Hartia .2013 http://edukasi.kompasiana.com/2013/05/30/teori-belajar-stimulus-dan-respon-560692.html.
Wina Senjaya. 2006. Strategi
Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses
Pendidikan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group
* Semoga Bermanfaat *
Hay kk....materinya keren, post lagi dong sangat bermanfaat
BalasHapus