Sabtu, 21 Maret 2015

Teori Belajar


 I.     Apa itu Belajar?
A.    Definisi Belajar
Menurut Gegne (1984) belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman.
1.     Perubahan Perilaku
Belajar menyangkut perubahan dalam suatu organisme. Hal ini berarti bahwa belajar membutuhkan waktu. Untuk mengukur belajar, kita bandingkan cara organisme itu berperilaku pada waktu A dengan cara organisme itu berperilaku pada waktu B dalam suasana yang serupa. Bila perilaku dalam suasana serupa itu berbeda untuk waktu itu kita dapat berkesimpulan bahwa telah terjadi belajar.
2.     Perilaku Terbuka
Hal yang menjadi perhatian utama ialah perilaku verbal manusia sebab dari tindakan-tindakan menulis dan berbicara manusia, dapat kita tentukan apakah perubahan-perubahan dalam perilaku telah terjadi. Perilaku terbuka organisme selalu menjadi pusat perhatian kita. Beberapa ahli psikologi hanya memusatkan pada perilaku terbuka. Mereka menganut psikologi perilaku. Para ahli psikologi yang lain menganggap perilaku terbuka sebagai suatu tanda untuk menyimpulkan apa yang terjadi dalam pikiran seseorang. Mereka menganut psikologi kognitif.
3.     Belajar dan Pengalaman
Istilah pengalaman membatasi macam-macam perubahan perilaku yang dapat dianggap mewakili belajar. Batasan ini penting dan sulit untuk didefinisikan. Biasanya batasan ini dilakukan dengan memperhatikan penyebab-penyebab perubahan dalam perilaku yang tidak dapat dianggap sebagai hasil pengalaman. Perubahan perilaku yang disebabkan kelelahan adaptasi indra, obat-obatan dan kekuatan mekanis tidak dianggap sebagai perubahan yang disebabkan oleh pengalaman sehingga tidak dapat dianggap bahwa belajar telah terjadi.
4.     Belajar dan Kematangan
Proses lain yang menghasilkan perubahan perilaku, yang tidak termasuk belajar ialah kematangan. Perubahan perilaku yang disebabkan oleh kematangan terjadi bila perilaku itu disebabkan oleh perubahan-perubahan yang berlangsung dalam proses pertumbuhan dan pengembangan organisme-organisme secara fisiologis. Berjalan dan berbicara berkembang dalam manusia pada umumnya lebih banyak disebabkan oleh kematangan daripada oleh belajar. Suatu tingkat kematangan tertentu merupakan prasyarat belajar berbicara, walaupun pengalaman dengan orang dewasa yang berbicara dibutuhkan untuk membantu kesiapan yang dibawa oleh kematangan.
Setelah semua bentuk perubahan yang disebabkan oleh proses fisiologis, mekanis, dan kematangan dikeluarkan dari kategori perubahan yang mencerminkan belajar, maka belajar dihasilkan dari pengalaman dengan lingkungan yang didalamnya terjadi  hubungan antara stimulus dan respon.
B.         Bentuk-bentuk Belajar
Gage (1984) mengemukakan bahwa ada lima bentuk belajar yaitu
1.     Belajar responden
Salah satu bentuk belajar disebut belajar responden. Dalam bentuk belajar responden, suatu respon dikeluarkan oleh suatu stimulus yang telah dikenal. Contoh belajar responden adalah hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh ahli psikologi rusia yang terkenal yaitu Ivan Pavlov.
Seekor anjing deberi serbuk daging dan ketika anjing itu memakannya, maka keluar air liurnya. Serbuk danging disebut stimulus tak terkondisi dan tindakan mengeluarkan air liur disebut respon tak terkondisi. Terjadi respon terhadap stimulus ini tidak merupakan belajar, tetapi terjadi secara instingtif.
Sekarang, lampu kita hidupkan di tempat anjing itu. Menghidupkan lampu mempunyai efek minimal terhadap keluarnya air liur anjing tersebut. Kemudian kita nyalakan lampu tepat sebelum memberikan serbuk daging itu pada anjing. Jika hal ini kita lakukan beberapa kali, kemudian pada suatu percobaan, tanpa memberikan serbuk daging, kita lihat timbulnya respon mengeluarkan air liur. Cahaya yang sebelumnya merupakan stimulus yang netral, sekarang menjadi stimulus terkondisi dan respon yang ditimbulkan disebut respon terkondisi.
2.     Belajar kontiguitas
Belajar dalam bentuk ini tidak memerlukan hubungan stimulus tak terkondisi dengan respons. Asosiasi dekat (contiguous) sederhana antara suatu stimulus dan suatu respon dapat menghasilkan suatu perubahan dalam perilaku individu. Hal ini disebabkan secara sederhana manusia dapat berubah karena mengalami peristiwa-peristiwa yang berpasangan. Belajar kontiguitas sederhana bisa dilihat jika seseorang memberikan respon atas pertanyan yang belum lengkap, seperti “dua kali dua sama dengan?” maka pasti bisa menjawab “empat”. Itu adalah contoh asosiasi berdekatan antara stimulus dan respon dalam waktu yang sama.
Belajar kontiguitas yang lain adalah “stereotyping”’ yaitu adanya peristiwa yang terjadi berulang-ulang dalam bentuk yang sama, sehingga terbentuk dalam pikiran kita. Seringkali sinetron televisi memperlihatkan seorang ilmuan dengan memakai kacamata, ibu tiri adalah wanita yang kejam. Maka sinetron televisi menciptakan kondisi untuk belajar stereotyping, padahal hal tersebut tidak sebenarnya benar.
3.     Belajar operant
Belajar bentuk ini sebagai akibat dari penguatan, bukan karena adanya stimulus, sebab perilaku yang diinginkan timbul secara spontan ketika organisme beroperasi dengan lingkungannya. Maksudnya perilaku individu dapat ditimbulkan dengan adanya penguatan segera setelah adanya respon. Respon ini bisa berupa pertanyaan, gerakan atau tindakan. Misalnya responnya menjawab pertanyaan guru secara sukarela, maka penguat bisa berupa ucapan guru “bagus sekali”, “kamu dapat satu poin”, dan sebagainya.
4.     Belajar observasional
Konsep belajar ini memperlihatkan bahwa orang dapat belajar dengan memperhatikan orang lain melakukan apa yang akan dipelajari. Misalnya anak kecil melajar makan dengan mengamati cara makan yang dilakukan oleh ibunya atau keluarganya.
5.     Belajar kognitif.
Bentuk belajar ini memperlihatkan proses-proses kognitif selama belajar. Proses semacam itu menyangkut “insight” (berpikir) dan “reasoning” (menggunakan logika deduktif dan induktif). Bentuk belajar ini mengindahkan persepsi siswa, insight, kognisi dari hubungan esensial antara unsur-unsur dalam situasi ini. Jadi belajar tidak hanya timbul dari adanya stimulus respon maupun penguatan, melainkan melibatkan tindakan mental individu yang sedang belajar.
II.          Teori, Mengapa Dibutuhkan?
A.        Kebutuhan akan Teori
Snelbecker (1974) berpendapat bahwa perumusan teori itu bukan hanya penting melainkan juga vital bagi psikologi dan pendidikan agar dapat maju atau berkembang, segera memecahkan masalah-masalah yang ditemukan dalam setiap bidang itu. Sekarang kita menyadari bahwa ilmu apa pun untuk dapat berkembang harus dilandasi teori.
1.Perubahan yang Tidak Ada Hentinya
Teori-teori lama menimbulkan teori-teori baru dan teori-teori baru menyebabkan dilakukannya eksperimen, kemudian eksperimen-eksperimen menghasilkan peningkatan pengetahuan dan pemahaman. Walaupun ada kalanya hal yang dihasilkan kurang menggemparkan dan teori-teori yang disusun tidak selalu secara jelas ditunjang oleh kenyataan empiris, pernyataan-pernyataan teoretis inilah yang lebih mempunyai dampak daripada fakta-fakta yang terpisah-pisah, terlepas dari penelitian yang dilaksanakan.
2.     Fungsi-fungsi Teori
Fungsi teori diantaranya membuat penemuan-penemuan menjadi sistematis, melahirkan hipotesis, membuat prediksi dan memberi penjelasan.
B.       Definisi beberapa istilah
1.     Teori
Dalam penggunaan secara umum teori berarti sejumlah preposisi yang terintegrasi secara sintaktik (artinya kumpulan proposisi itu mengikuti aturan-aturan tertentu yang dapat menghubungkan secara logis proposisi yang satu dengan proposisi yang lain, dan juga pada data yang diamati), serta yang digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan peristiwa-peristiwa yang diamati (Snelbecker, 1974).
2.     Hipotesis
Suatu hipotesis merupakan suatu pernyataan dalam bentuk dugaan sementara yang harus dibuktikan kebenarannya.
3.     Model
Model merupakan suatu analog konseptual yang digunakan untuk menyarankan bagaimana sebaiknya meneruskan penelitian empiris tentang suatu masalah. Jadi model adalah suatu struktur konseptual yang telah berhasil dikembangkan dalam suatu bidang, dan sekarang diterapkan, terutama untuk membimbing  penelitian dan berpikir dalam bidang lain, biasanya dalam bidang yang belum begitu berkembang (Marx, 1976).
4.     Hukum dan Prinsip
Suatu hukum merupakan pernyataan tentang suatu hubungan antara variabel-variabel dan kemungkinan terjadinya hubungan itu begitu tinggi hingga dapat dikatakan bahwavariabel-variabel ini sangat saling bergantung (Snelbecker, 1974).
Suatu prinsip merupkan suatu pernyataan tentang hubungan-hubungan yang dapat dikatakan mempunyai dasar empiris. Tetapi belum dapat disebut sebagai hukum karena belum dapat dianggap mendasar atau belum cukup mantap.
C.       Konstruksi Teori
1.       Konstruksi Teori Secara Deduktif
Teoritikus deduktif bekerja dari atas ke bawah menggabungkan suatu teori yang kelihatannya logis dengan dasar apriori. Kemudian teori itu diuji melalui eksperimen-eksperimen yang sifatnya ditentukan oleh teori tersebut. Dalam teori semacam ini mula-mula dirumuskan sekumpulan asumsi dasar atau postulat-postulat dengan memperhatikan faktor-faktor tertentu yang lebih dikenal. Dari postulat-postulat ini dikeluarkan hipotesis-hipotesis atau teorema-teoremah hipotesis ini kemudian diuji , lalu hipotesis terbukti benar, dipertahankn dengan cara yang sama postulat-posulat yang menghasilkan teorema  atau hipotesis yang benar dipertahankan sehingga selama periode tertentu teori itu mengalami koreksi sendiri. Pada umumnya inilah ciri teori deduktif.
2.       Konstruksi Teori Secara Induktif
Teoretikus induktif bekerja dari bawah keatas menyususn sistem-sistem (dapat sebuah teori-teori mini)) yang memperlihatkan hasil-hasil penelitian yang telah berkali-kali diuji. Lalu menyusun sistem yang lebih tinggi tingkatnya sebagai generalisasi teori mini itu dan akhirnya merumuskan suatu teori yang dapat mencakup sumua pernyataan yang lebih rendah tingkatannya.
3.       Keadaan Sekarang
Dua cara konstruksi teori yang telah dikemukakan diatas sebenarnya merupakan dua hal yang ekstrem. Ada teoretikus yang pada kenyataannya lebih suka pada cara yang satu, tetapi ada pula yang lebih suka pada cara yang lain. Walaupun setiap teroretikus itu  akan menggunakan strategi yang mengandung unsur-unsur kedua pendekatan itu. Pilihan antara metode deduktif atau cara induktif mungkin didasarkan atas keyakinan orang teoretikus terhadap hal-hal yang telah diketahui dalam bidangnya. Bila seseorang merasa dalam psikologi ada fakta-fakta tertentu yang sudah mantap sekali dipahami dan sudah ada cukup pemahaman tentang bekerjanya proses-proses dasar psikologi, penggunaan metode deduktif dibenarkan. Sebaliknya bila seseorang kurang yakin akan nilai-nilai ilmiah data psikologi yang ada, metode induktiflah yang lebih baik.
D.      Verifikasi Teori-teori
Pada suatu saat mungkin timbul pertanyaan tentang “kebenaran” suatu teori yang telah dirumuskan. Sebenarnya yang menjadi masalah bukan kebenaran suatu teori, melainkan yang ingin diketahui ialah apakah teori tertentu relatif lebih baik daripada teori yang lama dan apakah bagian tertentu suatu teori memerlukan revisi.
1.       Secara Sintaks
Salah satu tes suatu teori adalah mengetahui apakah teori itu secara internal konsisten dan logis. Karena semua teori itu disusun atas dasar postulat, hubungan antara konstruk-konstruk dari seorang teoretikus diminta bahwa teorinta tunduk pada peraturan –peraturan sintaktik, di mana ia memperlihtkan bahwa konstruk-konstruk yang digunakan dalam teori ini dapat saling dihubungkan pada data yang sebenarnya. Aturan-aturan seperti ini bersifat matematis (dalam physical sciences) atau verbalistis (sepertidalam psikologi dan pendidikan).
2.       Secara semantik
Suatu teori terutama diuji untuk mengetahui apakah teori itu membuat generalsasi-generalisasi yang benar dan prediksi-prediksi yang sahih (valid). Hal ini disebut semantik. Pada dasarnya suatu teori dapat lulus atau gagal waktu diuji secara eksperimen. Hal ini berarti bahwa suatu teori dapat dirumuskan sedemikian rupa sehigga apat diuji. Inilah yang merupakan masalah yang ditemukan berulang kali dalam bernilai “kebenaran” teori-teori.
III.          Teori-Teori Belajar
Teori Belajar Perilaku
A.       Evolusi Teori Perilaku
1.     Ivan Pavlov: Classical Conditioning
Dalam tahun-tahunterakhir abat ke-19 dan tahun permulaan abad ke-20, pavlov dan kawan-kawan mempelajari proses pencernaan dalam anjing (telah dikemukakan di atas). Selama penelitian mereka para ahli ini memperlihatkan perubahan dalam waktu dan kecepatan pengeluaran air liur. Dalam eksperimen ini pavlov dan kawan-kawan menunjukkan bagaimana belajar dapat mempengaruhi perilaku yang selama ini disangka refleksif dan tak dapat dikendalikan seperti pengeluaran air liur. Pentingnya studi yang dilakukan oleh pavlov terletak pada metode yang digunakannya serta hasil-hasil yang diperolehnya.
2.     E.L. Thorndike: Hukum Pengaruh
Hasil studi pavlov merangsang para peneliti di Amerika serikat, seperti E.L. Thorndike (Hilgard and bower, 1966). Dalam studi Thorndike terdahulu, ia memandang perilaku sebagai suatu respon terhadap stimulus-stimulus dalam lingkungan. Pandangan ini yaitu bahwa stimulus dapat mengeluarkan respons, merupakan titik tolak teori stimulus-respon yang dikenal sekarang. Seperti para ahli perilaku sebelumnya. Thorndike menghubungkan perilaku  perilaku pada refleks fisik. Refleks-refleks tertentu, seperti mengangkat sekonyong-konyong lutut ke atas bila lutut itu dipukul, terjadi tanpa diproses dalam otak. Dihipotesiskan bahwa perilaku yang lain juga ditentukan secara reflektif oleh stimulus yang ada di lingkungan , dan bukan oleh pikiran yang sadar atau tidak sadar.
Dalam sejumlah eksperimennya, Thorndike menempatkan kucing-kucing dalam kotak. Dari kotak-kotak ini, kucing-kucing itu harus keluar untuk memperoleh makanan. Ia mengamati bahwa sesudah selang waktu. Kucing-kucing itu belajar bagaimana dapat keluar dari kotak-kotak itu lebih cepat dengan mengulangi perilaku-perilaku yang mengarah pada keluar dan tidak mengulangi perilaku-perilaku yang tidak efejtif. Dari eksperimen-eksperimen ini, Thorndike mengembangkan hukum yang dikenal dengan hukum pengaruh atau “Law and Effect”.
Hukum pengaruh Thorndike mengemukakan bahwa jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yng memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan tindakan itu diulangi dalam situasi yang mirip akan meningkat. Akan tetapi bila suatu perilaku diikuti oleh suatu perubahan yang tidak memuaskan dalam lingkungan , kemungkinannya perilaku itu diulangi semakin menurun. Jadi konsekuensi perilaku seseorang pada suatu waktu memegang peranan peting dalam menentukan  perilaku orang itu selanjutnya.
3.     B.F. Skinner: Operant Conditioning
Pavlovpada umumnya memusatkan pada perilaku yang disangkanya ditampilkan oleh stimulus-stimulus khusus . akan tetapi kinner berpendapat bahwa perilaku-perilaku semacam itu mewakili hanya sebagian kecil dari semua perilaku. Ia menyarankan suatu kelas lain dari perilaku yang disebutnya  perilaku oparant sebab perilaku ini beroperasi terhadap lingkungan tanpa adanya stimulus-stimulus takterkondisi apapun, seperti makanan misalnya. Studi skinner berpusat pada hubungan antara perilaku dan konsekuensi-konsekuensinya. Sebagai contoh misalnya, bila perilaku seseorang segera diikuti oleh konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan, orang itu akan lebih sering terlibat dalam perilaku itu. Penggunaan konsekuensi-konsekuensi menyenangkan dan tak menyenangkan untuk mengubah perilaku disebut operant conditioning.
Eksperimen skinner dipusatkan pada penempatan subyek dalam sutuasi yang terkontrol dan mengamati perubhan dalam perilaku subyek-subyek itu yang dihasilkan dengan mengubah secara sistematis konsekuensi perilaku subyek tersebut.
B.       Prinsip-prinsip Teori Belajar Perilaku
1.     Konsekuensi-konsekuensi
Prinsip yang paling penting pada teori –teori perilaku ialah erilaku berubah menurut konsekuensi langsung. Konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan “memperkuat” perilaku, sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan “melemahkan” perilaku. Bila seekor tikus yang lapar menerima buturan makanan , saat ia menekan sebuah papan, tikus itu akan lebih sering menekan papan itu. Akan tetapi, bila tikus itu menerima denyutan listrik, frekuensi tikus itu dalam menekan papan akan semakin berkurang atau berhenti sama sekali.
Konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan pada umumnya disebut reinfoseratau penguat, sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang tak menyenangkan disebut hukuman.
Reinforser
Reinforser dapat dibagi menjadi dua golongan: primer dan sekunder. Reriforser primer memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, misalnya makanan, air, keamanan dan lain sebagainya. Reinforser sekunder merupakan reinforser yang memperoleh nilainya setelah diasosiasikan dengan reinforser primer atau reinforser lainnya yang sudah mantap. Contohnya uang baru mempunyai nilai bagi seorang anak bila ia mengetahui, bahwa uang itu dapat digunakan untuk membeli makanan.
Ada tiga kategori dasar reinforser sekunder, yaitu reinforser sosial (seperti pujian, senyuman atau perhatian), reinforser aktivitas (seperti pemberian mainan, permainan atau kegiatan-kegiatan yang menyenangkan), dan reinforser simbolik (seperti uang, angka, bintang, atau points yang dapat ditukarkan untuk reinforser-reinforser lainnya).
Hukuman
Konsekuensi-konsekuensi yang tidak memperkuat perilaku disebut hukuman. Para teoretikus perilaku berbeda pendapat mengenai hukum ini. Ada yang berpendapat, bahwa hukuman itu hanya temporer, bahwa hukuman menimbulkan sifat menentang atau agresi. Ada pula teoretikus yang tidak setuju dengan pemberian hukuman. Pada umumnya mereka setuju bahwa hukuman itu hendaknya digunakan, bila reinforsemen telah dicoba dan gagal, dan bahwa hukuman diberikan dalam bentuk selunak mungkin, dan hukuman hendaknya selalu digunakan sebagai bagian dari suatu perencanaan yang teliti, tidak dilakukan karena frustasi.
2.       Kesegeraan (Immediacy) Konsekuensi
Salah satu prinsip dalam teori belajar perilaku ialah bahwa konsekuensi yang segera mengikuti perilaku akan lebih mempengaruhi perilaku daripada konsekuensi yang lambat datangnya.
Prinsip kesegeraan konsekuensi ini penting artinya dalam kelas. Khususnya bagi murid-murid sekolah dasar, pujian yang diberikan segera setelah anak itu melakukan suatu pekerjaan dengan baik dapat menjadi suatu reinfirser yang lebih kuat daripada angka yang diberikan kemudian.
3.       Pembentukan (Shaping)
Selain kesegeraan reinforcement, hal yang akan diberikan reinforcement juga perlu diperhatikan dalam mengajar. Bila guru membimbing siswa menuju pencapaian tujuan untuk memberikan reinforcement pada langkah-langkah yang menuju keberhasilan, guru itu menggunakan teknik yang disebut pembentukan.
Istilah pembentukan atau shaping digunakan dalam teori belajar perilaku saat mengajarkan keterampilan baru atau perilaku dengan mmberikan reinforcement pada siswa dalam mendekati perilaku akhir yang diinginkan.
Langkah-langkah dalam pembentukan perilaku baru adalah sebagai berikut:
1.       Pilihlah tujuan . buat tujuan itu sekhusus mungkin.
2.       Tentukan sampai dimana siswa-siswa itu sekarang. Apakah kemampuan mereka?
3.       Kembangkan satu seri langkah-langkah yang dapat merupakan jenjang untuk membawa mereka dari keadaan mereka sekarang ke tujuan yang telah ditetapkan.
4.       Berilah umpan balik selama pelajaran berlangsung.
C.       Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional. Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1969). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebuh banyak penekanan pada efek-efek dari isyarat-isyarat pada perilaku, dan pada proses-proses mental internal.
Dalam pandangan belajar sosial ”manusia itu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak dipukul oleh stimulus-stimulus lingkungan. Tetapi, fungsi psikologi diterangkan sebaagai interaksi yang kontinu dan timbal balik dari determinan-determinan pribadi dan determinan-determinan lingkunga” (Bandura, 1977:11-12).
Teori belajar sosial menekankan, bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang, tidak random; lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya. Suatu perspektif belajar sosial menganalisis hubungan kintinu antara variable-variablelingkungan, ciri-ciri pribadi, dan perilaku terbuka dan tertutup seseorang.
1.       Pemodelan (Modeling)
Bandura memperhatikan bahwa penganut-penganut skinner memberi penekanan pada efek-efek dari konsekuensi-konsekuensi pada perilaku, dan tidak mengindahkan fenomena pemodelan, yaitu meniru perilaku orang lain, dan pengalaman “vicarious”, yaitu belajar dari keberhasilan dan kegagalan orang lain. Ia merasa, bahwasebagian besar belajar yang dialami manusia tidak dibentuk dari konsekuensi-konsekuensi, melainkan manusia itu belajar dari suatu model. Guru-guru olahraga mendemonstrasikan loncat tinggi, dan para siswa menirunya. Bandura menyebut ini “no trial learning”, sebab para siswa tidak harus melalui proses pembentukan (shaping process), tetapi dapat segera menghasilkan respons yang benar.
2.       Fase Belajar
Menurut Bandura (1977) ada empat fase dari model, yaitu fase perhatian (attentional phase), fase retensi (retentional phase), fase reproduksi (reproductional phase) dan fase motivasi (motivational phase).
Fase Perhatian
Fase pertama dalam belajar observasional ialah memberikan perhatian pada suatu model. Pada umumnya, para siswa memberikan perhatian pada model-model yang menarik, berhasil, menimbulkan minat, dan popular. Inilah sebabnya mengapa banyak siswa yang meniru pakaian, tata rambut, dan sikap bintang-bintang film.
Fase Retensi
Belajar oibservasional terjadi berdasarkan kontiguitas. Dua kejadian kontiguitas yang diperlukan ialah perhatian pada penampilan model dan penyajian simbolik dari penampilan itu dalam memori jangka panjang.
Fase Reproduksi
Fase reproduksi mengizinkan model atau instruktur untuk melihat apa komponen-komponen suatu urutan perilaku telah dikuasai oleh yang belajar. Ada kalanya hanya sebagian dari suatu urutan perilaku yang diberikan kode yang benar dan dimiliki. Misalnya seorang guru mungkin menemukan setelah memodelkan prosedur-prosedur untuk memecahkan persamaan kuadrat, bahwa beberapa siswa hanya dapat memecahkan sebagian dari persamaan itu. Mereka mungkin membutuhkan pertolongan dalam menguasai seluru urutan untuk memecahkan persamaan kuadrat itu. Kekurangan penampilan hanya dapat diketahui, bila siswa-siswa diminta untuk menampilkannya. Itulah sebab fase reproduksi diperlukan.
Fase Motivasi
Fase akhir dalam proses belajar observasional ialah fasa motivasi. Para siswa akan meniru suatu model, sebab mereka merasa, bahwa dengan berbuat demukuan mereka akan meningkatkan kemungkinan untuk memperoleh reinforsemen.
3.       Belajar Vicarious
Orang yang belajar dengan melihat orang diberi reinfosemen atau hukuman waktu terlibat dalam perilaku-perilaku tertentu. Inilah yang disebut belajar “vicarious”.
Guru-guru dalam kelas selalu menggunakan prinsip belajar vicarious. Bila seorang murid berkelakuan tidak baik, maka guru memperhatikan anak-anak yang bekerja dengan baik, dan memuji mereka karena pekerjaan mereka yang baik itu. Anak yang nakal itu melihat, bahwa bekerja memperoleh reinforsemen, kaarena itu ia pun kembali bekerja.
4.       Pengaturan Sendiri
Konsep penting lainnya dalam belajar observasional ialah pengaturan diri sendiri atau  “self regulation”. Bandura berhipotesis, bahwa manusia mengamati perilakunya sendiri, mempertimbangkan (jidge) perilakunya itu terhadap kriteria yang disusunnya sendiri, dan kemudian memberi reinforsemen atau hukuman pada dirinya sendiri.


D.      Kekuaatan dan Kelemahan teori-teori Perilaku
Telah diuraikan beberapa teori-teori perilaku. Sebagaimana setiap teori tidak akan pernah sempurna demikian halnya dengan teori-teori perilaku. Di samping kekuatan-kekuatannya ada pula kelemahan-kelemahannya.
Perinsip-perinsip yang melandasi teori-teori yang melandasi teori-teori perilaku kedudukannya kuat dalam psikologi, dan hal ini telah ditunjukkan dalam berbagai situasi. Prinsip-prinsip ini berguna untuk menjelaskan sebagian besar dari perilaku manusia dan bahkan lebih berguna dalam mengubah perilaku.
Teori-teori belajar perilaku dan kognitif kerap kali dikemukakan sebagai model yang beraing dan bertentangan. Sebenarnya lebih baik melihat kedua macam teori ini sebagai teori-teori yang menanggapi masalah-masalah yang berbeda, jadi lebih bersifat komplementer daripada bersaing.
Teori Belajar Kognitif
Para menganut teori belajar kognitif berpendapat bahwa perilaku yang tidak dapat diamati pun dapat dipelajari secara ilmiah. Sebagian besar dari mereka ini terutama tertarik pada teori yang disebut teori pemrosesan informasi.
Teori pemrosesan informasi
Para ahlipsikologi kognitifmengemukkan suatu kerangka teoretis yang dikenal dengan model pemrosesan informasi. Dalam model ini peristiwa-peristiwa mental diuraikan sebagai transformasi-transformasi informasi dari input (stimulus) keoutput ( respons).
1.       Suatu Model Pemrosesan Informasi
Dalam model ini, informasi dalam bentuk energi fisik tertentu (bunyi untuk ucapan, tekanan untuk sentuhan dan lain-lain) diteria oleh reseptor yang peka terhadap energi dalam bentuk-bentuk tertentu itu. Resetor-reseptor inimengirimkan tanda-tanda dalam bentuk impuls-impuls elektro kimia ke otak jadi transpormasi pertama uyang dialami imformasi ialah dari berbagai bentuk energi kesatu bentuk yang sama.
Impuls-impuls saraf dari resptor masuk kesuatu registor pengindraan yang terdapat dalam sistem saraf pusat. Informasi pengidraan disimpan dalam sistem saraf pusat selama waktu yang sangat singkat menurut Sperling (1960) hanya selama seperempat detik. Dari seluruh informasi yang masuk ini, sebagian kecil yang disimpan untuk selanjutnya diteruskan kememori jangka pendek, sedangkan selebihnya hilang dari sistem proses reduksi ini disebut presepsi selektif.
2.       Contoh Pemrosesan informasi
Sabagai suatu contoh pemrosesan informasi kita lihat apa yang terjadi dalam pelajaran sains. Seorang guru di SMP bertanya kepada seorang siswa yang bernama Hadi : “ bagaimana rumus massa jenis? “hadi menjawab : “ tidak tahu, pak “. Pada waktu yang sama Hadi sudah mempunyai harapan bahwa ia akan belajar rumus massa jenis, yang menyebabkan ia memberikan perhatian pada pelajaran yang akan di berikan. Guru itu kemudian berkata : “ rumus massa jenis ialah massa / volume. “ telinga Hadi menerima pesan ini bersama dengan suara-suara lainnya, misalnya percakapan teman-temannya dan suara kendaraan di jalan.
Semua suara yang di dengar Hadi di ubah menjadi impuls-impuls elektronika dan dikirim ke register pengindraan. Pola bahwa rumus massa jenis ialah massa/ volume terpilih dalam memori kerja, tetapi pola-pola suara yang lain tidak masuk.
Hadi kemudian mengode fakta bahwa rumus massa jenis ialah massa / volume dengan cara menghubungkan fakta ini dengan fakta-fakta lain yang telah diketahuinya tentang massa jenis (misalnya , massa jenis air adalah 1, massa jenis minyak adalah 0,8, dan beberapa fakta lain). Proses pengkodean ini menyebabkan falta yang baru itu masuk kedalam memori jangka panjang bila Hadi telah mengembangkan strategi-strategi memori khusus, proses-proses kontrol eksekutif Hadi akan mengarahkan proses pegodean agar menggunakan strategi-strategi khusus ini.
Dalam pelajaran berikutnya guru bertanya pada Hadi, “ bagaimana rumus massa jenis, Hadi? “ pertanyaan ini diterima dan dipilih untuk masuk dalam memori kerja. Disini pertanyaan itu menyediakan isyarat-isyarat unutk memanggiol jawaban dan memori jangka panjang. Kopi jawaban didunakan oleh generator respon untuk mengatur alat-alat suara yang menghasilkan suara : “ rumus amassa jenis adalah massa / volume. Pada waktu iniharapan Hadi bahwa ia akan mempelajari rumus massa jenis terpenuhi.



Semoga Bermanfaat.... Salam Sukses :-)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar