I.
Apa itu Belajar?
A.
Definisi Belajar
Menurut Gegne (1984) belajar dapat
didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisasi berubah perilakunya
sebagai akibat pengalaman.
1. Perubahan Perilaku
Belajar menyangkut perubahan dalam
suatu organisme. Hal ini berarti bahwa belajar membutuhkan waktu. Untuk mengukur
belajar, kita bandingkan cara organisme itu berperilaku pada waktu A dengan
cara organisme itu berperilaku pada waktu B dalam suasana yang serupa. Bila
perilaku dalam suasana serupa itu berbeda untuk waktu itu kita dapat
berkesimpulan bahwa telah terjadi belajar.
2. Perilaku Terbuka
Hal yang menjadi perhatian utama
ialah perilaku verbal manusia sebab dari tindakan-tindakan menulis dan
berbicara manusia, dapat kita tentukan apakah perubahan-perubahan dalam
perilaku telah terjadi. Perilaku terbuka organisme selalu menjadi pusat
perhatian kita. Beberapa ahli psikologi hanya memusatkan pada perilaku terbuka.
Mereka menganut psikologi perilaku. Para ahli psikologi yang lain menganggap
perilaku terbuka sebagai suatu tanda untuk menyimpulkan apa yang terjadi dalam
pikiran seseorang. Mereka menganut psikologi kognitif.
3. Belajar dan Pengalaman
Istilah pengalaman membatasi
macam-macam perubahan perilaku yang dapat dianggap mewakili belajar. Batasan ini
penting dan sulit untuk didefinisikan. Biasanya batasan ini dilakukan dengan
memperhatikan penyebab-penyebab perubahan dalam perilaku yang tidak dapat
dianggap sebagai hasil pengalaman. Perubahan perilaku yang disebabkan kelelahan
adaptasi indra, obat-obatan dan kekuatan mekanis tidak dianggap sebagai
perubahan yang disebabkan oleh pengalaman sehingga tidak dapat dianggap bahwa
belajar telah terjadi.
4. Belajar dan Kematangan
Proses lain yang menghasilkan
perubahan perilaku, yang tidak termasuk belajar ialah kematangan. Perubahan
perilaku yang disebabkan oleh kematangan terjadi bila perilaku itu disebabkan
oleh perubahan-perubahan yang berlangsung dalam proses pertumbuhan dan
pengembangan organisme-organisme secara fisiologis. Berjalan dan berbicara berkembang
dalam manusia pada umumnya lebih banyak disebabkan oleh kematangan daripada
oleh belajar. Suatu tingkat kematangan tertentu merupakan prasyarat belajar
berbicara, walaupun pengalaman dengan orang dewasa yang berbicara dibutuhkan
untuk membantu kesiapan yang dibawa oleh kematangan.
Setelah semua bentuk perubahan yang
disebabkan oleh proses fisiologis, mekanis, dan kematangan dikeluarkan dari
kategori perubahan yang mencerminkan belajar, maka belajar dihasilkan dari
pengalaman dengan lingkungan yang didalamnya terjadi hubungan antara stimulus dan respon.
B.
Bentuk-bentuk Belajar
Gage
(1984) mengemukakan bahwa ada lima bentuk belajar yaitu
1. Belajar responden
Salah satu bentuk belajar disebut
belajar responden. Dalam bentuk belajar responden, suatu respon dikeluarkan
oleh suatu stimulus yang telah dikenal. Contoh belajar responden adalah
hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh ahli psikologi rusia yang terkenal
yaitu Ivan Pavlov.
Seekor anjing deberi serbuk daging
dan ketika anjing itu memakannya, maka keluar air liurnya. Serbuk danging
disebut stimulus tak terkondisi dan tindakan mengeluarkan air liur disebut
respon tak terkondisi. Terjadi respon terhadap stimulus ini tidak merupakan
belajar, tetapi terjadi secara instingtif.
Sekarang, lampu kita hidupkan di tempat
anjing itu. Menghidupkan lampu mempunyai efek minimal terhadap keluarnya air
liur anjing tersebut. Kemudian kita nyalakan lampu tepat sebelum memberikan
serbuk daging itu pada anjing. Jika hal ini kita lakukan beberapa kali,
kemudian pada suatu percobaan, tanpa memberikan serbuk daging, kita lihat
timbulnya respon mengeluarkan air liur. Cahaya yang sebelumnya merupakan
stimulus yang netral, sekarang menjadi stimulus terkondisi dan respon yang
ditimbulkan disebut respon terkondisi.
2. Belajar kontiguitas
Belajar dalam bentuk ini tidak
memerlukan hubungan stimulus tak terkondisi dengan respons. Asosiasi dekat
(contiguous) sederhana antara suatu stimulus dan suatu respon dapat
menghasilkan suatu perubahan dalam perilaku individu. Hal ini disebabkan secara
sederhana manusia dapat berubah karena mengalami peristiwa-peristiwa yang
berpasangan. Belajar kontiguitas sederhana bisa dilihat jika seseorang
memberikan respon atas pertanyan yang belum lengkap, seperti “dua kali dua sama
dengan?” maka pasti bisa menjawab “empat”. Itu adalah contoh asosiasi
berdekatan antara stimulus dan respon dalam waktu yang sama.
Belajar kontiguitas yang lain adalah
“stereotyping”’ yaitu adanya peristiwa yang terjadi berulang-ulang dalam bentuk
yang sama, sehingga terbentuk dalam pikiran kita. Seringkali sinetron televisi
memperlihatkan seorang ilmuan dengan memakai kacamata, ibu tiri adalah wanita
yang kejam. Maka sinetron televisi menciptakan kondisi untuk belajar
stereotyping, padahal hal tersebut tidak sebenarnya benar.
3. Belajar operant
Belajar bentuk ini sebagai akibat
dari penguatan, bukan karena adanya stimulus, sebab perilaku yang diinginkan
timbul secara spontan ketika organisme beroperasi dengan lingkungannya.
Maksudnya perilaku individu dapat ditimbulkan dengan adanya penguatan segera
setelah adanya respon. Respon ini bisa berupa pertanyaan, gerakan atau
tindakan. Misalnya responnya menjawab pertanyaan guru secara sukarela, maka
penguat bisa berupa ucapan guru “bagus sekali”, “kamu dapat satu poin”, dan
sebagainya.
4. Belajar observasional
Konsep belajar ini memperlihatkan
bahwa orang dapat belajar dengan memperhatikan orang lain melakukan apa yang
akan dipelajari. Misalnya anak kecil melajar makan dengan mengamati cara makan
yang dilakukan oleh ibunya atau keluarganya.
5. Belajar kognitif.
Bentuk belajar ini memperlihatkan
proses-proses kognitif selama belajar. Proses semacam itu menyangkut “insight”
(berpikir) dan “reasoning” (menggunakan logika deduktif dan induktif). Bentuk
belajar ini mengindahkan persepsi siswa, insight, kognisi dari hubungan
esensial antara unsur-unsur dalam situasi ini. Jadi belajar tidak hanya timbul
dari adanya stimulus respon maupun penguatan, melainkan melibatkan tindakan
mental individu yang sedang belajar.
II.
Teori, Mengapa Dibutuhkan?
A.
Kebutuhan akan Teori
Snelbecker (1974) berpendapat bahwa
perumusan teori itu bukan hanya penting melainkan juga vital bagi psikologi dan
pendidikan agar dapat maju atau berkembang, segera memecahkan masalah-masalah
yang ditemukan dalam setiap bidang itu. Sekarang kita menyadari bahwa ilmu apa
pun untuk dapat berkembang harus dilandasi teori.
1.Perubahan yang Tidak Ada Hentinya
Teori-teori lama menimbulkan
teori-teori baru dan teori-teori baru menyebabkan dilakukannya eksperimen,
kemudian eksperimen-eksperimen menghasilkan peningkatan pengetahuan dan
pemahaman. Walaupun ada kalanya hal yang dihasilkan kurang menggemparkan dan
teori-teori yang disusun tidak selalu secara jelas ditunjang oleh kenyataan
empiris, pernyataan-pernyataan teoretis inilah yang lebih mempunyai dampak
daripada fakta-fakta yang terpisah-pisah, terlepas dari penelitian yang
dilaksanakan.
2. Fungsi-fungsi Teori
Fungsi teori diantaranya membuat
penemuan-penemuan menjadi sistematis, melahirkan hipotesis, membuat prediksi
dan memberi penjelasan.
B.
Definisi beberapa istilah
1. Teori
Dalam penggunaan secara umum teori
berarti sejumlah preposisi yang terintegrasi secara sintaktik (artinya kumpulan
proposisi itu mengikuti aturan-aturan tertentu yang dapat menghubungkan secara
logis proposisi yang satu dengan proposisi yang lain, dan juga pada data yang
diamati), serta yang digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan
peristiwa-peristiwa yang diamati (Snelbecker, 1974).
2. Hipotesis
Suatu hipotesis merupakan suatu
pernyataan dalam bentuk dugaan sementara yang harus dibuktikan kebenarannya.
3. Model
Model merupakan suatu analog
konseptual yang digunakan untuk menyarankan bagaimana sebaiknya meneruskan
penelitian empiris tentang suatu masalah. Jadi model adalah suatu struktur
konseptual yang telah berhasil dikembangkan dalam suatu bidang, dan sekarang
diterapkan, terutama untuk membimbing
penelitian dan berpikir dalam bidang lain, biasanya dalam bidang yang
belum begitu berkembang (Marx, 1976).
4. Hukum dan Prinsip
Suatu hukum merupakan pernyataan
tentang suatu hubungan antara variabel-variabel dan kemungkinan terjadinya
hubungan itu begitu tinggi hingga dapat dikatakan bahwavariabel-variabel ini
sangat saling bergantung (Snelbecker, 1974).
Suatu prinsip merupkan suatu
pernyataan tentang hubungan-hubungan yang dapat dikatakan mempunyai dasar
empiris. Tetapi belum dapat disebut sebagai hukum karena belum dapat dianggap
mendasar atau belum cukup mantap.
C.
Konstruksi Teori
1. Konstruksi Teori Secara Deduktif
Teoritikus deduktif bekerja dari atas
ke bawah menggabungkan suatu teori yang kelihatannya logis dengan dasar
apriori. Kemudian teori itu diuji melalui eksperimen-eksperimen yang sifatnya
ditentukan oleh teori tersebut. Dalam teori semacam ini mula-mula dirumuskan
sekumpulan asumsi dasar atau postulat-postulat dengan memperhatikan faktor-faktor
tertentu yang lebih dikenal. Dari postulat-postulat ini dikeluarkan
hipotesis-hipotesis atau teorema-teoremah hipotesis ini kemudian diuji , lalu
hipotesis terbukti benar, dipertahankn dengan cara yang sama postulat-posulat
yang menghasilkan teorema atau hipotesis
yang benar dipertahankan sehingga selama periode tertentu teori itu mengalami
koreksi sendiri. Pada umumnya inilah ciri teori deduktif.
2. Konstruksi Teori Secara Induktif
Teoretikus induktif bekerja dari
bawah keatas menyususn sistem-sistem (dapat sebuah teori-teori mini)) yang
memperlihatkan hasil-hasil penelitian yang telah berkali-kali diuji. Lalu
menyusun sistem yang lebih tinggi tingkatnya sebagai generalisasi teori mini
itu dan akhirnya merumuskan suatu teori yang dapat mencakup sumua pernyataan
yang lebih rendah tingkatannya.
3. Keadaan Sekarang
Dua cara konstruksi teori yang telah
dikemukakan diatas sebenarnya merupakan dua hal yang ekstrem. Ada teoretikus
yang pada kenyataannya lebih suka pada cara yang satu, tetapi ada pula yang
lebih suka pada cara yang lain. Walaupun setiap teroretikus itu akan menggunakan strategi yang mengandung
unsur-unsur kedua pendekatan itu. Pilihan antara metode deduktif atau cara
induktif mungkin didasarkan atas keyakinan orang teoretikus terhadap hal-hal
yang telah diketahui dalam bidangnya. Bila seseorang merasa dalam psikologi ada
fakta-fakta tertentu yang sudah mantap sekali dipahami dan sudah ada cukup
pemahaman tentang bekerjanya proses-proses dasar psikologi, penggunaan metode
deduktif dibenarkan. Sebaliknya bila seseorang kurang yakin akan nilai-nilai
ilmiah data psikologi yang ada, metode induktiflah yang lebih baik.
D.
Verifikasi Teori-teori
Pada suatu saat mungkin timbul pertanyaan
tentang “kebenaran” suatu teori yang telah dirumuskan. Sebenarnya yang menjadi
masalah bukan kebenaran suatu teori, melainkan yang ingin diketahui ialah
apakah teori tertentu relatif lebih baik daripada teori yang lama dan apakah
bagian tertentu suatu teori memerlukan revisi.
1. Secara Sintaks
Salah satu tes suatu teori adalah
mengetahui apakah teori itu secara internal konsisten dan logis. Karena semua
teori itu disusun atas dasar postulat, hubungan antara konstruk-konstruk dari
seorang teoretikus diminta bahwa teorinta tunduk pada peraturan –peraturan
sintaktik, di mana ia memperlihtkan bahwa konstruk-konstruk yang digunakan
dalam teori ini dapat saling dihubungkan pada data yang sebenarnya. Aturan-aturan
seperti ini bersifat matematis (dalam physical sciences) atau verbalistis
(sepertidalam psikologi dan pendidikan).
2. Secara semantik
Suatu teori terutama diuji untuk
mengetahui apakah teori itu membuat generalsasi-generalisasi yang benar dan
prediksi-prediksi yang sahih (valid). Hal ini disebut semantik. Pada dasarnya
suatu teori dapat lulus atau gagal waktu diuji secara eksperimen. Hal ini
berarti bahwa suatu teori dapat dirumuskan sedemikian rupa sehigga apat diuji.
Inilah yang merupakan masalah yang ditemukan berulang kali dalam bernilai
“kebenaran” teori-teori.
III.
Teori-Teori Belajar
Teori Belajar Perilaku
A. Evolusi Teori Perilaku
1. Ivan Pavlov: Classical Conditioning
Dalam tahun-tahunterakhir abat ke-19
dan tahun permulaan abad ke-20, pavlov dan kawan-kawan mempelajari proses
pencernaan dalam anjing (telah dikemukakan di atas). Selama penelitian mereka
para ahli ini memperlihatkan perubahan dalam waktu dan kecepatan pengeluaran
air liur. Dalam eksperimen ini pavlov dan kawan-kawan menunjukkan bagaimana
belajar dapat mempengaruhi perilaku yang selama ini disangka refleksif dan tak
dapat dikendalikan seperti pengeluaran air liur. Pentingnya studi yang
dilakukan oleh pavlov terletak pada metode yang digunakannya serta hasil-hasil
yang diperolehnya.
2. E.L. Thorndike: Hukum Pengaruh
Hasil studi pavlov merangsang para
peneliti di Amerika serikat, seperti E.L. Thorndike (Hilgard and bower, 1966).
Dalam studi Thorndike terdahulu, ia memandang perilaku sebagai suatu respon terhadap
stimulus-stimulus dalam lingkungan. Pandangan ini yaitu bahwa stimulus dapat
mengeluarkan respons, merupakan titik tolak teori stimulus-respon yang dikenal
sekarang. Seperti para ahli perilaku sebelumnya. Thorndike menghubungkan
perilaku perilaku pada refleks fisik.
Refleks-refleks tertentu, seperti mengangkat sekonyong-konyong lutut ke atas
bila lutut itu dipukul, terjadi tanpa diproses dalam otak. Dihipotesiskan bahwa
perilaku yang lain juga ditentukan secara reflektif oleh stimulus yang ada di
lingkungan , dan bukan oleh pikiran yang sadar atau tidak sadar.
Dalam sejumlah eksperimennya,
Thorndike menempatkan kucing-kucing dalam kotak. Dari kotak-kotak ini,
kucing-kucing itu harus keluar untuk memperoleh makanan. Ia mengamati bahwa
sesudah selang waktu. Kucing-kucing itu belajar bagaimana dapat keluar dari
kotak-kotak itu lebih cepat dengan mengulangi perilaku-perilaku yang mengarah
pada keluar dan tidak mengulangi perilaku-perilaku yang tidak efejtif. Dari
eksperimen-eksperimen ini, Thorndike mengembangkan hukum yang dikenal dengan
hukum pengaruh atau “Law and Effect”.
Hukum pengaruh Thorndike mengemukakan
bahwa jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yng memuaskan dalam
lingkungan, kemungkinan tindakan itu diulangi dalam situasi yang mirip akan
meningkat. Akan tetapi bila suatu perilaku diikuti oleh suatu perubahan yang
tidak memuaskan dalam lingkungan , kemungkinannya perilaku itu diulangi semakin
menurun. Jadi konsekuensi perilaku seseorang pada suatu waktu memegang peranan
peting dalam menentukan perilaku orang
itu selanjutnya.
3. B.F. Skinner: Operant Conditioning
Pavlovpada umumnya memusatkan pada
perilaku yang disangkanya ditampilkan oleh stimulus-stimulus khusus . akan
tetapi kinner berpendapat bahwa perilaku-perilaku semacam itu mewakili hanya
sebagian kecil dari semua perilaku. Ia menyarankan suatu kelas lain dari
perilaku yang disebutnya perilaku
oparant sebab perilaku ini beroperasi terhadap lingkungan tanpa adanya
stimulus-stimulus takterkondisi apapun, seperti makanan misalnya. Studi skinner
berpusat pada hubungan antara perilaku dan konsekuensi-konsekuensinya. Sebagai
contoh misalnya, bila perilaku seseorang segera diikuti oleh konsekuensi-konsekuensi
yang menyenangkan, orang itu akan lebih sering terlibat dalam perilaku itu.
Penggunaan konsekuensi-konsekuensi menyenangkan dan tak menyenangkan untuk mengubah
perilaku disebut operant conditioning.
Eksperimen skinner dipusatkan pada
penempatan subyek dalam sutuasi yang terkontrol dan mengamati perubhan dalam
perilaku subyek-subyek itu yang dihasilkan dengan mengubah secara sistematis
konsekuensi perilaku subyek tersebut.
B.
Prinsip-prinsip Teori Belajar
Perilaku
1. Konsekuensi-konsekuensi
Prinsip yang paling penting pada
teori –teori perilaku ialah erilaku berubah menurut konsekuensi langsung.
Konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan “memperkuat” perilaku, sedangkan
konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan “melemahkan” perilaku. Bila
seekor tikus yang lapar menerima buturan makanan , saat ia menekan sebuah
papan, tikus itu akan lebih sering menekan papan itu. Akan tetapi, bila tikus
itu menerima denyutan listrik, frekuensi tikus itu dalam menekan papan akan
semakin berkurang atau berhenti sama sekali.
Konsekuensi-konsekuensi yang
menyenangkan pada umumnya disebut reinfoseratau penguat, sedangkan
konsekuensi-konsekuensi yang tak menyenangkan disebut hukuman.
Reinforser
Reinforser dapat dibagi menjadi dua
golongan: primer dan sekunder. Reriforser primer memuaskan kebutuhan-kebutuhan
dasar manusia, misalnya makanan, air, keamanan dan lain sebagainya. Reinforser
sekunder merupakan reinforser yang memperoleh nilainya setelah diasosiasikan
dengan reinforser primer atau reinforser lainnya yang sudah mantap. Contohnya
uang baru mempunyai nilai bagi seorang anak bila ia mengetahui, bahwa uang itu
dapat digunakan untuk membeli makanan.
Ada tiga kategori dasar reinforser
sekunder, yaitu reinforser sosial (seperti pujian, senyuman atau perhatian),
reinforser aktivitas (seperti pemberian mainan, permainan atau
kegiatan-kegiatan yang menyenangkan), dan reinforser simbolik (seperti uang,
angka, bintang, atau points yang dapat ditukarkan untuk reinforser-reinforser
lainnya).
Hukuman
Konsekuensi-konsekuensi yang tidak
memperkuat perilaku disebut hukuman. Para teoretikus perilaku berbeda pendapat
mengenai hukum ini. Ada yang berpendapat, bahwa hukuman itu hanya temporer,
bahwa hukuman menimbulkan sifat menentang atau agresi. Ada pula teoretikus yang
tidak setuju dengan pemberian hukuman. Pada umumnya mereka setuju bahwa hukuman
itu hendaknya digunakan, bila reinforsemen telah dicoba dan gagal, dan bahwa
hukuman diberikan dalam bentuk selunak mungkin, dan hukuman hendaknya selalu
digunakan sebagai bagian dari suatu perencanaan yang teliti, tidak dilakukan
karena frustasi.
2. Kesegeraan (Immediacy) Konsekuensi
Salah satu prinsip dalam teori
belajar perilaku ialah bahwa konsekuensi yang segera mengikuti perilaku akan
lebih mempengaruhi perilaku daripada konsekuensi yang lambat datangnya.
Prinsip kesegeraan konsekuensi ini
penting artinya dalam kelas. Khususnya bagi murid-murid sekolah dasar, pujian
yang diberikan segera setelah anak itu melakukan suatu pekerjaan dengan baik
dapat menjadi suatu reinfirser yang lebih kuat daripada angka yang diberikan
kemudian.
3. Pembentukan (Shaping)
Selain kesegeraan reinforcement, hal
yang akan diberikan reinforcement juga perlu diperhatikan dalam mengajar. Bila
guru membimbing siswa menuju pencapaian tujuan untuk memberikan reinforcement
pada langkah-langkah yang menuju keberhasilan, guru itu menggunakan teknik yang
disebut pembentukan.
Istilah pembentukan atau shaping
digunakan dalam teori belajar perilaku saat mengajarkan keterampilan baru atau
perilaku dengan mmberikan reinforcement pada siswa dalam mendekati perilaku
akhir yang diinginkan.
Langkah-langkah dalam pembentukan perilaku baru adalah
sebagai berikut:
1. Pilihlah tujuan . buat tujuan itu
sekhusus mungkin.
2. Tentukan sampai dimana siswa-siswa
itu sekarang. Apakah kemampuan mereka?
3. Kembangkan satu seri langkah-langkah
yang dapat merupakan jenjang untuk membawa mereka dari keadaan mereka sekarang
ke tujuan yang telah ditetapkan.
4. Berilah umpan balik selama pelajaran
berlangsung.
C.
Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial merupakan
perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional. Teori ini dikembangkan
oleh Albert Bandura (1969). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip
teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebuh banyak penekanan pada efek-efek
dari isyarat-isyarat pada perilaku, dan pada proses-proses mental internal.
Dalam pandangan belajar sosial
”manusia itu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak
dipukul oleh stimulus-stimulus lingkungan. Tetapi, fungsi psikologi diterangkan
sebaagai interaksi yang kontinu dan timbal balik dari determinan-determinan
pribadi dan determinan-determinan lingkunga” (Bandura, 1977:11-12).
Teori belajar sosial menekankan,
bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang, tidak random;
lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui
perilakunya. Suatu perspektif belajar sosial menganalisis hubungan kintinu
antara variable-variablelingkungan, ciri-ciri pribadi, dan perilaku terbuka dan
tertutup seseorang.
1. Pemodelan (Modeling)
Bandura memperhatikan bahwa
penganut-penganut skinner memberi penekanan pada efek-efek dari
konsekuensi-konsekuensi pada perilaku, dan tidak mengindahkan fenomena
pemodelan, yaitu meniru perilaku orang lain, dan pengalaman “vicarious”, yaitu
belajar dari keberhasilan dan kegagalan orang lain. Ia merasa, bahwasebagian
besar belajar yang dialami manusia tidak dibentuk dari konsekuensi-konsekuensi,
melainkan manusia itu belajar dari suatu model. Guru-guru olahraga
mendemonstrasikan loncat tinggi, dan para siswa menirunya. Bandura menyebut ini
“no trial learning”, sebab para siswa tidak harus melalui proses pembentukan
(shaping process), tetapi dapat segera menghasilkan respons yang benar.
2. Fase Belajar
Menurut Bandura (1977) ada empat fase
dari model, yaitu fase perhatian (attentional phase), fase retensi (retentional
phase), fase reproduksi (reproductional phase) dan fase motivasi (motivational
phase).
Fase Perhatian
Fase pertama dalam belajar
observasional ialah memberikan perhatian pada suatu model. Pada umumnya, para
siswa memberikan perhatian pada model-model yang menarik, berhasil, menimbulkan
minat, dan popular. Inilah sebabnya mengapa banyak siswa yang meniru pakaian,
tata rambut, dan sikap bintang-bintang film.
Fase Retensi
Belajar oibservasional terjadi berdasarkan
kontiguitas. Dua kejadian kontiguitas yang diperlukan ialah perhatian pada
penampilan model dan penyajian simbolik dari penampilan itu dalam memori jangka
panjang.
Fase Reproduksi
Fase reproduksi mengizinkan model
atau instruktur untuk melihat apa komponen-komponen suatu urutan perilaku telah
dikuasai oleh yang belajar. Ada kalanya hanya sebagian dari suatu urutan
perilaku yang diberikan kode yang benar dan dimiliki. Misalnya seorang guru
mungkin menemukan setelah memodelkan prosedur-prosedur untuk memecahkan
persamaan kuadrat, bahwa beberapa siswa hanya dapat memecahkan sebagian dari
persamaan itu. Mereka mungkin membutuhkan pertolongan dalam menguasai seluru
urutan untuk memecahkan persamaan kuadrat itu. Kekurangan penampilan hanya
dapat diketahui, bila siswa-siswa diminta untuk menampilkannya. Itulah sebab
fase reproduksi diperlukan.
Fase Motivasi
Fase akhir dalam proses belajar
observasional ialah fasa motivasi. Para siswa akan meniru suatu model, sebab
mereka merasa, bahwa dengan berbuat demukuan mereka akan meningkatkan
kemungkinan untuk memperoleh reinforsemen.
3. Belajar Vicarious
Orang yang belajar dengan melihat
orang diberi reinfosemen atau hukuman waktu terlibat dalam perilaku-perilaku
tertentu. Inilah yang disebut belajar “vicarious”.
Guru-guru dalam kelas selalu
menggunakan prinsip belajar vicarious. Bila seorang murid berkelakuan tidak
baik, maka guru memperhatikan anak-anak yang bekerja dengan baik, dan memuji
mereka karena pekerjaan mereka yang baik itu. Anak yang nakal itu melihat,
bahwa bekerja memperoleh reinforsemen, kaarena itu ia pun kembali bekerja.
4. Pengaturan Sendiri
Konsep penting lainnya dalam belajar
observasional ialah pengaturan diri sendiri atau “self regulation”. Bandura berhipotesis,
bahwa manusia mengamati perilakunya sendiri, mempertimbangkan (jidge)
perilakunya itu terhadap kriteria yang disusunnya sendiri, dan kemudian memberi
reinforsemen atau hukuman pada dirinya sendiri.
D.
Kekuaatan dan Kelemahan teori-teori
Perilaku
Telah diuraikan beberapa teori-teori
perilaku. Sebagaimana setiap teori tidak akan pernah sempurna demikian halnya
dengan teori-teori perilaku. Di samping kekuatan-kekuatannya ada pula
kelemahan-kelemahannya.
Perinsip-perinsip yang melandasi
teori-teori yang melandasi teori-teori perilaku kedudukannya kuat dalam
psikologi, dan hal ini telah ditunjukkan dalam berbagai situasi.
Prinsip-prinsip ini berguna untuk menjelaskan sebagian besar dari perilaku
manusia dan bahkan lebih berguna dalam mengubah perilaku.
Teori-teori belajar perilaku dan
kognitif kerap kali dikemukakan sebagai model yang beraing dan bertentangan.
Sebenarnya lebih baik melihat kedua macam teori ini sebagai teori-teori yang
menanggapi masalah-masalah yang berbeda, jadi lebih bersifat komplementer
daripada bersaing.
Teori Belajar Kognitif
Para menganut teori belajar kognitif
berpendapat bahwa perilaku yang tidak dapat diamati pun dapat dipelajari secara
ilmiah. Sebagian besar dari mereka ini terutama tertarik pada teori yang
disebut teori pemrosesan informasi.
Teori pemrosesan informasi
Para ahlipsikologi
kognitifmengemukkan suatu kerangka teoretis yang dikenal dengan model
pemrosesan informasi. Dalam model ini peristiwa-peristiwa mental diuraikan
sebagai transformasi-transformasi informasi dari input (stimulus) keoutput (
respons).
1. Suatu Model Pemrosesan Informasi
Dalam model ini, informasi dalam
bentuk energi fisik tertentu (bunyi untuk ucapan, tekanan untuk sentuhan dan
lain-lain) diteria oleh reseptor yang peka terhadap energi dalam bentuk-bentuk
tertentu itu. Resetor-reseptor inimengirimkan tanda-tanda dalam bentuk
impuls-impuls elektro kimia ke otak jadi transpormasi pertama uyang dialami
imformasi ialah dari berbagai bentuk energi kesatu bentuk yang sama.
Impuls-impuls saraf dari resptor
masuk kesuatu registor pengindraan yang terdapat dalam sistem saraf pusat.
Informasi pengidraan disimpan dalam sistem saraf pusat selama waktu yang sangat
singkat menurut Sperling (1960) hanya selama seperempat detik. Dari seluruh
informasi yang masuk ini, sebagian kecil yang disimpan untuk selanjutnya
diteruskan kememori jangka pendek, sedangkan selebihnya hilang dari sistem
proses reduksi ini disebut presepsi selektif.
2. Contoh Pemrosesan informasi
Sabagai suatu contoh pemrosesan
informasi kita lihat apa yang terjadi dalam pelajaran sains. Seorang guru di
SMP bertanya kepada seorang siswa yang bernama Hadi : “ bagaimana rumus massa
jenis? “hadi menjawab : “ tidak tahu, pak “. Pada waktu yang sama Hadi sudah
mempunyai harapan bahwa ia akan belajar rumus massa jenis, yang menyebabkan ia
memberikan perhatian pada pelajaran yang akan di berikan. Guru itu kemudian
berkata : “ rumus massa jenis ialah massa / volume. “ telinga Hadi menerima
pesan ini bersama dengan suara-suara lainnya, misalnya percakapan
teman-temannya dan suara kendaraan di jalan.
Semua suara yang di dengar Hadi di
ubah menjadi impuls-impuls elektronika dan dikirim ke register pengindraan.
Pola bahwa rumus massa jenis ialah massa/ volume terpilih dalam memori kerja,
tetapi pola-pola suara yang lain tidak masuk.
Hadi kemudian mengode fakta bahwa
rumus massa jenis ialah massa / volume dengan cara menghubungkan fakta ini
dengan fakta-fakta lain yang telah diketahuinya tentang massa jenis (misalnya ,
massa jenis air adalah 1, massa jenis minyak adalah 0,8, dan beberapa fakta
lain). Proses pengkodean ini menyebabkan falta yang baru itu masuk kedalam
memori jangka panjang bila Hadi telah mengembangkan strategi-strategi memori
khusus, proses-proses kontrol eksekutif Hadi akan mengarahkan proses pegodean
agar menggunakan strategi-strategi khusus ini.
Dalam pelajaran berikutnya guru
bertanya pada Hadi, “ bagaimana rumus massa jenis, Hadi? “ pertanyaan ini
diterima dan dipilih untuk masuk dalam memori kerja. Disini pertanyaan itu
menyediakan isyarat-isyarat unutk memanggiol jawaban dan memori jangka panjang.
Kopi jawaban didunakan oleh generator respon untuk mengatur alat-alat suara
yang menghasilkan suara : “ rumus amassa jenis adalah massa / volume. Pada
waktu iniharapan Hadi bahwa ia akan mempelajari rumus massa jenis terpenuhi.
Semoga Bermanfaat.... Salam Sukses :-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar